Problem apakah yang dihadapi wirausahawan ? Umumnya menjawab permodalan. Jawaban itu ternyata tidak selalu benar. Belum lama ini saya ditemui seorang wirausahawan muda. Dia bisnis bidang pengembangan software sistem akuntansi. Anak muda ini bingung. Disaat usaha yang dirintis dari nol, berkembang pesat. Muncul masalah. Tenaga yang dia kirim untuk menangani sistem ditempat klien, banyak dikeluhkan oleh owner. Bukan masalah pengetahuan dan ketrampilan.
Sebagian besar keluhan adalah mereka dipandang kurang memiliki etika atau tata krama dalam menjalankan tugas. Misalnya sering nimbrung pembicaraan saat owner sedang berbicara dengan staf yang lain. Berlagak sok pintar. Tutur kata sering tidak mengenakan didengar.
Maklumlah mereka masih muda. Sebagian masih kuliah duduk disemester enam. Wirausahawan muda ini meminta tolong saya untuk memberikan pelatihan terkait etika komunikasi dalam berkerja. Saya pun menyanggupinya.
Wirausahawan budiman. Masalah rendahnya etika tidak hanya melanda generasi muda. Kaum profesional yang termasuk golongan dewasa. Tidak sedikit yang terlanda krisis yang satu ini. Berikut kisah lucu dan tragis yang pernah saya lihat secara langsung. Tahun 2007 Bank Pasar Surakarta melakukan rekruetmen mencari calon Direktur Utama. Tahapan-tahapan telah dilalui. Mulai seleksi administrasi, tes tertulis, tes psikologi berjalan lancar. Dari ratusan pelamar, tersaring 10 besar pelamar. Tibalah tahap terakhir yaitu wawancara.
Kesepuluh calon pilihan ini diundang di Loji Gandrung, rumas dinas Walikota Solo. Mereka diwajibkan presentasi dihadapan tim independen, dewan pengawas dan walikota. Mereka menjabarkan visi dan misi seandainya terpilih sebagai Direktur Utama. Satu persatu pelamar masuk ruang Loji Gandrung, melakukan presentasi.
Tibalah giliran pelamar dari Semarang. Seorang profesional dan praktisi perbankan. Penampilan bonafid dan nampak cerdas. Saat namanya dipanggil. Dia datang tergopoh-gopoh sambil minta maaf, karena datang terlambat. Berjalan masuk ruang, sambil menenteng tas dan dasi yang belum dipakai. Tanpa diminta dia langsung duduk. Sesaat kemudian dia bertanya " Boleh saya minum ". Tanpa menunggu jawaban boleh dan tidak secangkir teh yang ada di meja langsung dia minum.
Kami yang hadir kaget dan tidak bisa menahan senyum. Kenapa ? Secangkir teh yang diminum tadi adalah cangkir Walikota Solo. Ya, cangkir Pak Jokowi. Wawancara pun berjalan dengan singkat. Namun tim indepen, dewas pengawas dan pak Jokowi hampir tidak ada yang mengajukan pertanyaan. " Saya kira cukup, bapak bisa meninggalkan tempat ", ungkap saya.
Walaupun pelamar ini pandai, namun kesalahannya fatal. Ceroboh dan tidak memiliki etika. Kesalahan kecil, berdampak besar. Bukankah demikian ? Bagaimana pendapat Anda ? Tidak usah senyam senyum. Mari tehnya diminum dulu. Jangan salah ya ? Sumonggo.
Sebagian besar keluhan adalah mereka dipandang kurang memiliki etika atau tata krama dalam menjalankan tugas. Misalnya sering nimbrung pembicaraan saat owner sedang berbicara dengan staf yang lain. Berlagak sok pintar. Tutur kata sering tidak mengenakan didengar.
Maklumlah mereka masih muda. Sebagian masih kuliah duduk disemester enam. Wirausahawan muda ini meminta tolong saya untuk memberikan pelatihan terkait etika komunikasi dalam berkerja. Saya pun menyanggupinya.
Wirausahawan budiman. Masalah rendahnya etika tidak hanya melanda generasi muda. Kaum profesional yang termasuk golongan dewasa. Tidak sedikit yang terlanda krisis yang satu ini. Berikut kisah lucu dan tragis yang pernah saya lihat secara langsung. Tahun 2007 Bank Pasar Surakarta melakukan rekruetmen mencari calon Direktur Utama. Tahapan-tahapan telah dilalui. Mulai seleksi administrasi, tes tertulis, tes psikologi berjalan lancar. Dari ratusan pelamar, tersaring 10 besar pelamar. Tibalah tahap terakhir yaitu wawancara.
Kesepuluh calon pilihan ini diundang di Loji Gandrung, rumas dinas Walikota Solo. Mereka diwajibkan presentasi dihadapan tim independen, dewan pengawas dan walikota. Mereka menjabarkan visi dan misi seandainya terpilih sebagai Direktur Utama. Satu persatu pelamar masuk ruang Loji Gandrung, melakukan presentasi.
Tibalah giliran pelamar dari Semarang. Seorang profesional dan praktisi perbankan. Penampilan bonafid dan nampak cerdas. Saat namanya dipanggil. Dia datang tergopoh-gopoh sambil minta maaf, karena datang terlambat. Berjalan masuk ruang, sambil menenteng tas dan dasi yang belum dipakai. Tanpa diminta dia langsung duduk. Sesaat kemudian dia bertanya " Boleh saya minum ". Tanpa menunggu jawaban boleh dan tidak secangkir teh yang ada di meja langsung dia minum.
Kami yang hadir kaget dan tidak bisa menahan senyum. Kenapa ? Secangkir teh yang diminum tadi adalah cangkir Walikota Solo. Ya, cangkir Pak Jokowi. Wawancara pun berjalan dengan singkat. Namun tim indepen, dewas pengawas dan pak Jokowi hampir tidak ada yang mengajukan pertanyaan. " Saya kira cukup, bapak bisa meninggalkan tempat ", ungkap saya.
Walaupun pelamar ini pandai, namun kesalahannya fatal. Ceroboh dan tidak memiliki etika. Kesalahan kecil, berdampak besar. Bukankah demikian ? Bagaimana pendapat Anda ? Tidak usah senyam senyum. Mari tehnya diminum dulu. Jangan salah ya ? Sumonggo.
0 komentar:
Posting Komentar